Generasi Melek Gizi

GEMEZ (Generasi Melek Gizi):
Inovasi Pemberdayaan Gizi Masyarakat dalam Pengentasan Masalah
Stunting guna Menyongsong Keberhasilan SDGs 2030 di Indonesia

Akifa Laila Rusyda

Saat ini, ada banyak masalah yang berdampak negatif terhadap kesehatan
dan kesejahteraan global sehingga mengakibatkan peningkatan masalah kesehatan
masyarakat. Salah satunya adalah stunting. Stunting merupakan bentuk kegagalan
pertumbuhan akibat ketidakcukupan zat gizi yang ditunjukkan dengan tinggi
badan di bawah rata-rata standar normal dan berlangsung lama. Data dunia
memaparkan bahwa sebanyak 149 juta balita mengalami masalah ini. Data yang
lebih mengejutkan ditunjukkan dengan catatan prevalensi stunting di dunia tahun
2000 mencapai 32,5% dan tahun 2018 sebanyak 21,9%, kendatinya pengentasan
stunting bergerak lambat (Damayanthi et al. 2013)

Target Sustainable Development Goals mematok penurunan stunting pada
tahun 2025 sebesar 40% atau setara dengan 15% prevalensi stunting, dengan
harapan penurunan prevalensi stunting tiap tahun sebesar 4%. Diprediksi, hanya
sekitar seperemapat dari negara berkembang akan memenuhi target tersebut.
Situasi Indonesia dalam hal ini cukup tertantang dengan kondisi yang memiliki
target pengentasan stunting yang masih belum tercapai.

Prevalensi stunting di Indonesia yang menurun dari 37,2% pada tahun
2013 menjadi 28,9% satu tahun kemudian. Empat tahun selanjutnya, prevalensi
stunting di Indonesia cenderung mengalami stagnasi dengan angka yang berkisar
antara 27 – 30% (Kemenkes RI 2018). Jumlah demikian masih tergolong tinggi
menurut standar WHO, yaitu ≤30%. Artinya, stunting masih menjadi pekerjaan
bersama yang membutuhkan perhatian serius bagi bangsa Indonesia (WHO 2013).
Keparahan masalah stunting yang dihadapi berhubungan dengan prioritas
penanggulangannya. Umumnya, program penanggulangan stunting di Indonesia
belum dilakukan secara menyeluruh dan integratif, hanya mencakup balita dan
anak-anak saja. Padahal, kunci keberhasilan generasi yang optimal sebaiknya
diatur sejak masa pranikah dan prakonsepsi. Untuk itu, diperlukan adanya strategi
yang mantap, holistik, dan integratif dalam mengatasi masalah stunting di
Indonesia.

GEMEZ (Generasi Melek Gizi) merupakan strategi yang terprogram
secara menyeluruh, dalam arti mencakup semua generasi yang menjadi sasaran
dalam mengentaskan stunting di Indonesia. GEMEZ memberikan edukasi kepada
masyarakat sebagai upaya peningkatan kesadaran pentingnya zat gizi bagi
kesehatan manusia. Inovasi program tersebut memiliki konsep gerakan edukasi
nonlaba yang dibangun serta dikembangkan oleh mahasiswa dan pemuda dengan
melibatkan peran dari pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), serta organisasi profesi. Tujuan dari adanya program adalah sebagai bentuk upaya preventif
(pencegahan), korektif (perbaikan), treatment (pemeliharaan), dan pengembangan.

Gerakan ini diimplementasikan sebagai bentuk kepedulian generasi muda
terhadap kondisi masyarakat Indonesia dalam menghadapi masalah stunting yang
ada sekarang ini. Keterlibatan pemuda dalam pelaksanaan program ialah
meningkatkan wawasan pemuda tentang pentingnya gizi dalam upaya
pemeliharaan kesehatan. Selain itu, program ini juga membantu menanamkan
kepedulian pemuda mengenai masalah gizi di lingkungan masyarakat.
Implementasi kegiatan ditujukan kepada masyarakat menurut golongan usia, dari
balita hingga lanjut usia serta melibatkan ibu hamil dan ibu menyusui.
Sasaran tersebut tergolong menyeluruh, tujuannya untuk memutus
persoalan stunting agar segera teratasi dan tidak berdampak pada usia selanjutnya.
Setiap kelompok sasaran mempunyai kegiatan yang mendukung tumbuh kembang
dan kebutuhan gizi yang berbeda. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan
pelayanan dan bimbingan yang optimal kepada sasaran program. Kemudahan
dalam pengelolaan program juga dapat tercapai dengan adanya pembagian kerja
tiap kelompok usia.

Konsep program “Generasi Melek Gizi” diuraikan dengan pendekatan U-CAN (Humanity, Community, and Nutrition). Pendekatan dengan dasar
hummanity berkaitan dengan sasaran program yaitu memanusiakan manusia.
Tujuannya adalah program dapat terlaksana dengan “merangkul” semua
kelompok usia yang diwujudkan dengan pemberian pelayanan prima dan manfaat yang lebih menyeluruh. Selain itu, semua kelompok usia juga dapat dimonitor
dengan baik status gizinya. Dasar community berdasarkan program yang akan
dilaksanakan berbasis komunitas. Program pemberdayaan masyarakat berbasis
komunitas bersifat partisipatif sehingga dapat menghapus kesan masyarakat yang
hanya dijadikan objek belaka. Basis community menjadikan implementasi
program menjadi lebih diterima dan diminati oleh masyarakat. Kemudian,
landasan nutrition memiliki arti bahwa program GEMEZ memberikan
pemantauan status gizi normal di setiap sasaran program. Dengan status gizi
normal, setiap orang akan mencapai produktivitas kerja yang optimal.

Kajian tersebut dilaksanakan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan
kualitas sumber daya manusia. Pembangunan yang dilaksanakan saat ini berdiri
sendiri-sendiri. Konsep U-CAN diupayakan mampu meretas peliknya ideologi
pengkotak-kotakan disiplin pembangunan. Adanya basis konsep terbaru U-CAN
ditargetkan mampu merangkul kumpulan ranah pendidikan yang ada, pemerintah,
dan masyarakat sehingga sasaran dapat lebih luas dan menyeluruh.
Harapan dari kajian berbasis interdisipliner adalah terciptanya suatu
kondisi yang mampu menjamin status gizi normal di setiap usia, mendukung
pengembangan pengabdian masyarakat, dan mencukupi kebutuhan generasi masa
kini tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang. Dengan
diaplikasikannya program yang bersifat holistik dan integratif, tentu akan
menjamin kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang agar semakin
mantap. Implementasi program GEMEZ selain bertujuan untuk meretas dilema
stunting di Indonesia, juga dapat dijadikan teladan dalam memberantas ironi
masalah kesehatan lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Ketika
masalah kesehatan dapat teratasi, maka akselerasi pembangunan Indonesia
disegala bidang menunjukkan adanya titik terang. Dapat dipastikan pula bahwa
keberhasilan pembangunan Indonesia yang selama ini dinantikan tentu akan
menjadi peluang yang nyata untuk menyongsong kesuksesan agenda Sustainable
Development Goals 2030.

Referensi

Damayanthi E, Madanijah S, Kustiyah L, Amalia L. 2016. Ilmu Gizi Dasar.
Bogor: IPB Press.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Badan
Penelitrian dan Pengembangan Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018:
Laporan Nasional. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes RI.
[WHO] World Health Organization. 2013. Childhood Stunting: Contex, Causes,
and Consequences. WHO Conceptual Framework.

Food Taboo : (Dilema) Stunting dan (Mitos) Sosial Budaya Pangan di Indonesia

Capture

Oleh: 
AKIFA LAILA RUSYDA

ARTIKEL

Masalah stunting (kependekan) pada anak balita merupakan pekerjaan rumah bersama bagi negara-negara di dunia. Menurut WHO, terdapat kurang lebih 162 juta anak bawah lima tahun yang mengalami masalah kependekan. Keprihatinan tersebut kemudian memunculkan target baru dari Badan Kesehatan Dunia dengan pemangkasan prevalensi stunting pada tahun 2025 (yang diharuskan) menurun sebesar 40% di semua negara, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting terbesar di Asia Tenggara bahkan termasuk dalam lima besar negara di dunia dengan jumlah mencapai 8,9 juta balita pendek yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2013. Hal tersebut berarti bahwa satu dari lima balita di Indonesia mengalami stunting. Meskipun data terbaru tahun 2018 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan, dari 37,2% di tahun 2013 dan menurun menjadi 30,8% di tahun 2018 namun angka tersebut masih tergolong tinggi dalam cakupan global, artinya bahwa permasalahan stunting bukanlah perkara yang dapat dianggap sepele.

Upaya untuk meretas problematika stunting memerlukan penanganan yang serius agar tidak menjadi pekerjaan yang berlanjut dan tidak menunjukkan keberhasilan yang nyata. Stunting merupakan salah satu bentuk masalah kurang gizi kronis pada balita yang ditunjukkan tinggi badan dibawah rata-rata standar normal dan berlangsung lama. Masalah stunting pada umumnya diawali dengan proses gagal tumbuh selama kehamilan, sejak konsepsi sampai dua hingga tiga tahun pertama kehidupan. Periode ini sering disebut dengan seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) atau yang dikenal secara mengglobal dengan sebutan Scalling Up Nutrition (SUN). Permaslahan stunting merupakan masalah yang bersinggungan dengan kesehatan yang mengakar pada masalah gizi sehingga dapat diketahui dengan pasti bahwa stunting disebabkan oleh pola makan dan asupan zat gizi yang salah.

Gambaran sosial budaya terkait konsumsi maknaan harian pun tidak terlepas dari kejadian stunting di Indonesia. Kebiasaan masyarakat Indonesia seperti pantangan makan (food taboo) akan memengaruhi status gizi anak terutama pada balita. Keberagaman praktik kebudayaan tersebut perlu dikaji lebih lanjut lagi, apakah termasuk fakta yang harus diterima secara utuh atau tidak, khususnya yang berkaitan dengan derajat kesehatan manusia. Pola makan pangan pantangan dari masa kehamilan, menyusui, hingga balita sering dijumpai di masyarakat Indonesia terlebih jika dilihat lebih lanjut, makanan tersebut justru makanan sumber zat gizi tinggi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan pada 1000 HPK. #1000HariTerbaik #1000HariPertamaAnanda

Misalnya, pangan pantangan pada ibu hamil yaitu cumi-cumi, nanas, telur, dan udang di beberapa suku di Indonesia. Pantangan makan cumi-cumi berhasil menghasut masyarakat dengan alasan bayi akan sulit dilahirkan karena akan keluar masuk seperti cumi-cumi, sedangkan konsumsi udang akan menyebabkan bayi lahir dengan mencengkram vagina ibu sehingga timbul rasa sakit. Pantangan konsumsi telur saat hamil dipercaya akan mempersulit persalinan. Kemudian, jenis makanan pedas dan nanas apabila dikonsumsi oleh ibu hamil akan menyebabkan timbulnya darah pada urin. Pantangan dari makanan-makanan tersebut tentu akan merugikan apabila ditinjau dari segi kesehatan. Golongan lauk seperti cumi-cumi, telur, dan udang justru menambah cadangan energi yang lebih banyak dari protein sebab golongan lauk merupakan sumber protein tertinggi dan mengandung asam lemak esensial untuk mendukung perkembangan otak janin. Kemudian, golongan buah merupakan sumber serat sehingga dianggap mampu mengatasi sembelit yang sering timbul saat kehamilan. Pengecualian pada nanas agar tidak dikonsumsi ibu hamil muda sebab terbukti secara ilmiah, nanas mengandung enzim bromelin yang dapat menstimulasi kontraksi uterus.

Praktik sosial budaya gizi saat menyusui yang banyak dijumpai adalah membuang kolostrum pada ASI. Rujukan kesehatan tentu tidak akan melegitimasikan mengenai hal tersebut. Berdasarkan penelitian, dalam kolostrum ASI terdapat zat gizi yang mampu mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, yaitu 85% protein, 2,5% lemak, 3,5% karbohidrat, vitamin (A,B,C,D,E, dan K), mineral, 85% air, leukosit, serta zat antivirus. Kini, dapat diketahui bahwa apabila kolostrum tidak diberikan pada bayi maka bayi akan memperoleh kekebalan tubuh yang kurang sehingga menimbulkan beberapa penyakit infeksi yang akan berhubungan dengan status gizi balita.

Gambaran sosial budaya gizi pada masa balita yang dijumpai di Indonesia adalah inisiasi menyusui dini dan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir. Praktik inisiasi menyusi dini telah diteliti dengan adanya keterkaitan kejadian diare pada masa balita. Balita yang mengalami diare berlebih akan menurunkan berat badan secara drastis sehingga mengganggu pertumbuhan dan akan berakibat pada kondisi kependekan atau stunting. Pemberian makanan prelakteal adalah pemberiaan makanan pendamping ASI sebelum masanya (6 bulan). Hal tersebut akan mengganggu pemberian ASI eksklusif pada bayi. ASI eksklusif diberikan dengan tujuan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang bayi sehingga apabila terganggu dalam pemberiannya maka pertumbuhan bayi akan terhambat. Gangguan pertumbuhan pada masa bayi tentu akan mengakibatkan kejadian stunting pada masa selanjutnya.

Praktik sosial budaya diatas merupakan contoh kecil dari banyaknya kejadian food taboo di Indonesia yang berlanjut turun- temurun dari generasi terdahulu. Berikut merupakan tabel praktik sosial budaya gizi mengenai food taboo lain yang umumnya tersebar di Indonesia dengan faktanya.

tabel.jpg

Semua praktik makanan tabu di Indonesia umumnya disebabkan oleh kepercayaan masyarakat yang bersifat magis untuk melindungi janin. Secara fungsional, alasan tabu terhadap makanan tertentu berkaitan dengan nilai kesehatan namun tanpa tinjauan lebih lanjut lagi sehingga masyarakat salah dalam menyimpulkannya. Untuk itu, diperlukan upaya untuk menegaskan kepercayaan makanan tabu di Indonesia khususnya untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita sehingga mereka terdorong untuk mengonsumsi makanan yang bergizi dan tidak memantang makanan yang dapat mengeksklusikan zat gizi tertentu dari dietnya. Dimulai dari kebiasaan mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, diharapkan mampu meretas dilema kejadian stunting yang masih membelenggu bangsa Indonesia.

 

Rujukan:
Lamid A. 2015. Masalah Kependekan (Stunting) pada Anak Balita: Analisis Prospek Penanggulangannya di Indonesia. Bogor (ID): IPBPress.

Praditama AD. 2014. Pola makan pada ibu hamil dan pascamelahirkan di Desa Tiripan Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk. AntroUnair. 3 (1): 1-15.

Rumiyati E. 2011. Hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian ASI pertama (kolostrum) di Rumah Bersalin An-Nissa Surakarta. Jurnal Kesmadaska. 2 (2): 30-34.

Sholihah LA, Sartika RAD. 2014. Makanan tabu pada ibu hamil suku Tengger [catatan penelitian]. Kesmas. 8 (7): 319-324.

[WHO] World Health Organization. 2013. Childhood Stunting: Contex, Causes, and Consequences. WHO Conceptual Framework.