Food Taboo : (Dilema) Stunting dan (Mitos) Sosial Budaya Pangan di Indonesia

Capture

Oleh: 
AKIFA LAILA RUSYDA

ARTIKEL

Masalah stunting (kependekan) pada anak balita merupakan pekerjaan rumah bersama bagi negara-negara di dunia. Menurut WHO, terdapat kurang lebih 162 juta anak bawah lima tahun yang mengalami masalah kependekan. Keprihatinan tersebut kemudian memunculkan target baru dari Badan Kesehatan Dunia dengan pemangkasan prevalensi stunting pada tahun 2025 (yang diharuskan) menurun sebesar 40% di semua negara, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting terbesar di Asia Tenggara bahkan termasuk dalam lima besar negara di dunia dengan jumlah mencapai 8,9 juta balita pendek yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2013. Hal tersebut berarti bahwa satu dari lima balita di Indonesia mengalami stunting. Meskipun data terbaru tahun 2018 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan, dari 37,2% di tahun 2013 dan menurun menjadi 30,8% di tahun 2018 namun angka tersebut masih tergolong tinggi dalam cakupan global, artinya bahwa permasalahan stunting bukanlah perkara yang dapat dianggap sepele.

Upaya untuk meretas problematika stunting memerlukan penanganan yang serius agar tidak menjadi pekerjaan yang berlanjut dan tidak menunjukkan keberhasilan yang nyata. Stunting merupakan salah satu bentuk masalah kurang gizi kronis pada balita yang ditunjukkan tinggi badan dibawah rata-rata standar normal dan berlangsung lama. Masalah stunting pada umumnya diawali dengan proses gagal tumbuh selama kehamilan, sejak konsepsi sampai dua hingga tiga tahun pertama kehidupan. Periode ini sering disebut dengan seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) atau yang dikenal secara mengglobal dengan sebutan Scalling Up Nutrition (SUN). Permaslahan stunting merupakan masalah yang bersinggungan dengan kesehatan yang mengakar pada masalah gizi sehingga dapat diketahui dengan pasti bahwa stunting disebabkan oleh pola makan dan asupan zat gizi yang salah.

Gambaran sosial budaya terkait konsumsi maknaan harian pun tidak terlepas dari kejadian stunting di Indonesia. Kebiasaan masyarakat Indonesia seperti pantangan makan (food taboo) akan memengaruhi status gizi anak terutama pada balita. Keberagaman praktik kebudayaan tersebut perlu dikaji lebih lanjut lagi, apakah termasuk fakta yang harus diterima secara utuh atau tidak, khususnya yang berkaitan dengan derajat kesehatan manusia. Pola makan pangan pantangan dari masa kehamilan, menyusui, hingga balita sering dijumpai di masyarakat Indonesia terlebih jika dilihat lebih lanjut, makanan tersebut justru makanan sumber zat gizi tinggi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan pada 1000 HPK. #1000HariTerbaik #1000HariPertamaAnanda

Misalnya, pangan pantangan pada ibu hamil yaitu cumi-cumi, nanas, telur, dan udang di beberapa suku di Indonesia. Pantangan makan cumi-cumi berhasil menghasut masyarakat dengan alasan bayi akan sulit dilahirkan karena akan keluar masuk seperti cumi-cumi, sedangkan konsumsi udang akan menyebabkan bayi lahir dengan mencengkram vagina ibu sehingga timbul rasa sakit. Pantangan konsumsi telur saat hamil dipercaya akan mempersulit persalinan. Kemudian, jenis makanan pedas dan nanas apabila dikonsumsi oleh ibu hamil akan menyebabkan timbulnya darah pada urin. Pantangan dari makanan-makanan tersebut tentu akan merugikan apabila ditinjau dari segi kesehatan. Golongan lauk seperti cumi-cumi, telur, dan udang justru menambah cadangan energi yang lebih banyak dari protein sebab golongan lauk merupakan sumber protein tertinggi dan mengandung asam lemak esensial untuk mendukung perkembangan otak janin. Kemudian, golongan buah merupakan sumber serat sehingga dianggap mampu mengatasi sembelit yang sering timbul saat kehamilan. Pengecualian pada nanas agar tidak dikonsumsi ibu hamil muda sebab terbukti secara ilmiah, nanas mengandung enzim bromelin yang dapat menstimulasi kontraksi uterus.

Praktik sosial budaya gizi saat menyusui yang banyak dijumpai adalah membuang kolostrum pada ASI. Rujukan kesehatan tentu tidak akan melegitimasikan mengenai hal tersebut. Berdasarkan penelitian, dalam kolostrum ASI terdapat zat gizi yang mampu mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, yaitu 85% protein, 2,5% lemak, 3,5% karbohidrat, vitamin (A,B,C,D,E, dan K), mineral, 85% air, leukosit, serta zat antivirus. Kini, dapat diketahui bahwa apabila kolostrum tidak diberikan pada bayi maka bayi akan memperoleh kekebalan tubuh yang kurang sehingga menimbulkan beberapa penyakit infeksi yang akan berhubungan dengan status gizi balita.

Gambaran sosial budaya gizi pada masa balita yang dijumpai di Indonesia adalah inisiasi menyusui dini dan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir. Praktik inisiasi menyusi dini telah diteliti dengan adanya keterkaitan kejadian diare pada masa balita. Balita yang mengalami diare berlebih akan menurunkan berat badan secara drastis sehingga mengganggu pertumbuhan dan akan berakibat pada kondisi kependekan atau stunting. Pemberian makanan prelakteal adalah pemberiaan makanan pendamping ASI sebelum masanya (6 bulan). Hal tersebut akan mengganggu pemberian ASI eksklusif pada bayi. ASI eksklusif diberikan dengan tujuan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang bayi sehingga apabila terganggu dalam pemberiannya maka pertumbuhan bayi akan terhambat. Gangguan pertumbuhan pada masa bayi tentu akan mengakibatkan kejadian stunting pada masa selanjutnya.

Praktik sosial budaya diatas merupakan contoh kecil dari banyaknya kejadian food taboo di Indonesia yang berlanjut turun- temurun dari generasi terdahulu. Berikut merupakan tabel praktik sosial budaya gizi mengenai food taboo lain yang umumnya tersebar di Indonesia dengan faktanya.

tabel.jpg

Semua praktik makanan tabu di Indonesia umumnya disebabkan oleh kepercayaan masyarakat yang bersifat magis untuk melindungi janin. Secara fungsional, alasan tabu terhadap makanan tertentu berkaitan dengan nilai kesehatan namun tanpa tinjauan lebih lanjut lagi sehingga masyarakat salah dalam menyimpulkannya. Untuk itu, diperlukan upaya untuk menegaskan kepercayaan makanan tabu di Indonesia khususnya untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita sehingga mereka terdorong untuk mengonsumsi makanan yang bergizi dan tidak memantang makanan yang dapat mengeksklusikan zat gizi tertentu dari dietnya. Dimulai dari kebiasaan mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, diharapkan mampu meretas dilema kejadian stunting yang masih membelenggu bangsa Indonesia.

 

Rujukan:
Lamid A. 2015. Masalah Kependekan (Stunting) pada Anak Balita: Analisis Prospek Penanggulangannya di Indonesia. Bogor (ID): IPBPress.

Praditama AD. 2014. Pola makan pada ibu hamil dan pascamelahirkan di Desa Tiripan Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk. AntroUnair. 3 (1): 1-15.

Rumiyati E. 2011. Hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian ASI pertama (kolostrum) di Rumah Bersalin An-Nissa Surakarta. Jurnal Kesmadaska. 2 (2): 30-34.

Sholihah LA, Sartika RAD. 2014. Makanan tabu pada ibu hamil suku Tengger [catatan penelitian]. Kesmas. 8 (7): 319-324.

[WHO] World Health Organization. 2013. Childhood Stunting: Contex, Causes, and Consequences. WHO Conceptual Framework.

Leave a comment